Mengenai Saya

Foto saya
Garut, Jawa Barat, Indonesia
Charming student, lazy boy.

Jumat, 13 Januari 2012

Genosida di Indonesia?

“Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain”


Tulisan ini terinspirasi ketika penulis membaca kembali buku-buku Mas Pramoedya, Jalan Raya Pos, Jalan Raya Daendels, yang diterbitkan kembali oleh penerbit Lentera Dipantera. Membaca kembali karya-karya Mas Pram yang sudah lama ternyata masih sangat relevan dalam situasi saat ini. Apalagi ini menjelang Pilpres…nuansa sebagai bangsa terjajah sangat kental terasa, dan benar kata Mas Pram, inilah negeri budak, budak di antara  dan bagi bangsa-banga lain. Ternyata memang kenyataannya, penjajalahn selama hampir tiga abad tersebut belum memberikan pelajaran yang berharga bagi bangsa ini untuk lebih menaikkan status sosialnya di mata bangsa-bangsa dan negara-negara lain. Membayangkan ketika menelusuri Jalan Raya di Pulau Jawa yang lebih dikenal dengan sebutan Jalan Daendels, terbayang sebuah penderitaan yang mengerikan pernah dialami bangsa ini. Sebuah Genosida! Begitu Mas Pram, memberikan sebuah penggambaran. Dan dalam sejarahnya bangsa ini, genosida itu ternyata tidak hanya pada waktu pembangunan jalan tersebut (yang sekarang sangat dinikmati oleh anak bangsa ini) telah memakan sebanyak 12.000 jiwa dalam pembangunannya. Pembangunan dari Anyer sampai Penarukan yang berjarak 1000 Kilometer, merup[akan satu dari sekian kisah tragedi terbesar dalam sejarah yang terjadi di tanah Hindia. Mas Pram, mengatakan kita bangsa kaya, tapi lemah.
Marilah kita tengok sedikit dalam buku tersebut, dimana saja terjadi Genosida di Indonesia. Mas Pram mencatat, bahwa pembunuhan pertama kali terjadi di Bandanaira (Pulau Banda), 1621, dilakukan Belanda, pada zaman Jan Pietersz Coen. Jumlah Korban tidak pernah disebutkan dengan pasti, dalam kesaksian itu, hampir semua penduduk dikatakan meninggal dan sebagian kecil memilih untuk melarikan diri dari kerja paksa tersebut. Akibatnya Belanda, harus mendatangkan Budak-budak dari daerah dan negara lain. Sungguh bisa dibayangkan, genosida yang terjadi tidak hanya berupa pelenyapan suku dan ras, akan tetapi telah terjadi pelenyapan budaya masyarakat Banda. Genosida yang terjadi dalam sejarah perjalanan anak bangsa ke-2 terjadi setelah Perang Jawa, periode 1825-1830, dengan arsiteknya Jenderal Van den Bosch, berupa kerja tanam paksa atau istilah kerennya cultursteelsel! tidak diketahui jumlah pastinya. Jepang dengan tragedi Kalimantan Baratnya, berapa jumlahnya? tidak tahu pasti! Genosida lainnya, Masih ingat tragedi yang digambarkan paling kejam dalam buku pelajaran sejarah (zaman saya dulu ada Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa/PSPB) yaitu zamannya Westerling di Sulewesi Selatan, menurut mantan Diplomat RI, Manai Sophian (ini bapaknya almarhum Sophan Sophian), tercatat 40.ooo orang meninggal, tapi Belanda mengklaim hanya 5000 orang yang meninggal. Lagi-lagi dengan jumlah angka yang tidak pasti. Selanjutnya yang paling parah terjadi justru Genosida yang terjadi atara anak bangsa. Tgadei 65, samnpai saat ini berapa jumlah korbanya juga belum diketahui pasti, ada yang menyebut angka 500.000, 1.000.000 dan bahkan 2.000.000-2.550.000. Jika ini benar maka ini merupakan pembantain yang paling besar dalam sejarah umat manusia. Pembataian ini lebih tinggi dari apa yang dilakukan oleh rezim Khmer Merah di Kamboja pada tahun 1970-an dan banyak intelektual terbunuh. Begitu juga pada tragedi 65, banyak sekali intelektual yang terbunuh. Jumlah pasrtinya? sampai saat ini pun tidak jelas. Sungguh bangsa yang gampang melupakan sejarah bangsanya sendiri.
Marilah sedikit menegok makna genosida yang kelihatannya angker, dan apakah tepat untuk tulisan ini. Dari Wikipedia (www.id.wikipedia.org), penulis menemukan istilah Genosida (genosid), yaitu sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di USA. Kata ini diambil dari Bahasa Yunani γένος genos (‘ras’, ‘bangsa’ atau ‘rakyat’) dan bahasa Latin caedere (‘pembunuhan’). Dalam sejarahnya tercatat belasan genosida terjadi di dunia, ini, mulai dari pembantaian bangsa Kanaan oleh bangsa Yahudi pada milenium pertama sebelum Masehi, pembantaian bangsa Helvetia oleh Julius Caesar pada abad ke-1 sebelum masehi, pembantaian suku bangsa Keltik oleh bangsa Anglo-Saxon di Britania dan Irlandia sejak abad ke-7, pembantaian bangsa-bangsa Indian di benua Amerika oleh para penjajah Eropa semenjak tahun 1492, pembantaian bangsa Aborijin Australia oleh Britania Raya semenjak tahun 1788, pembantaian Bangsa Armenia oleh beberapa kelompok Turki pada akhir  Perang Dunia I, pembantaian Orang Yahudi, orang Gipsi (Sinti dan Roma) dan suku bangsa Slavia oleh kaum Nazi (dibawah Hittler) Jerman pada Perang Dunia II, pembantaian suku bangsa Jerman di Eropa Timur pada akhir Perang Dunia II oleh suku-suku bangsa Ceko, Polandia dan Uni Soviet di sebelah timur garis Perbatasan Oder-Neisse, pembantaian lebih dari dua juta jiwa rakyat oleh rezim Khmer Merah pada akhir tahun 1970-an, pembantaian bangsa Kurdi oleh rezim Saddam Hussien Irak pada tahun 1980-an, Efraín Rios Montt, diktator Guatemala dari 1982 sampai 1983 telah membunuh 75.000 Indian Maya, pembantaian suku Hutu dan Tutsi di Rwanda (yang secara menarik digambarkan dalam Film “Hotel Rwanda”, yang diarahkan oleh Terry George dan diproduksi tahun 2004, berdasarkan sudut pandang seorang petugas di hotel, Paul Rusesbagina yang menyaksikan genosida tersebut) pada tahun 1994 oleh terutama kaum Hutu, pembantaian suku bangsa Bosnia dan Kroasia di Yugoslavia oleh Serbia antara 1991-1996, pembantaian Srebrenica, kasus pertama di Eropa yang dinyatakan genosida oleh suatu suatu keputusan hukum, dan pembantaian kaum berkulit hitam di Darfur oleh milisi Janjaweed di Sudan pada tahun 2004. Menarik, kenapa tragedi genosida yang terjadi di Indonesia dari masa kolonial sampai kontemporer tidak pernah disebutkan?
Hanya karena jumlah korban yang gak jelas dan ketidakseriusan pemerintah mengungkapkan fakta kah yang menjadi kendala utamanya? Memang benar, bahwa jumlah korban dalam peroistiwa “genosida” yang terjadi di Indonesia, pembantaian 65, yaitu eksponen partai komunis Indonesia, yang dilakukan oleh bangsa sendiri sampai saat ini belum menunjukkan angka yang pasti. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang lebih menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Studi yang dilakukan oleh Geoffrey Robinson, yang ditulisnya dalam sebuah buku Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2006) dan Robert Cribb (ed) dalam bukunya The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966 (Yogyakarta: Mata Bangsa dan Syarikat Indonesia 2003) tidak bisa memberikan data pasti berapa jumlah korbannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar