Mengenai Saya

Foto saya
Garut, Jawa Barat, Indonesia
Charming student, lazy boy.

Jumat, 13 Januari 2012

Anak-anak Kita dan Genggaman Teknologi

Seorang teman menceritakan anaknya yang sekarang duduk di kelas 4 SD menuntut untuk dibelikan handphone (HP) karena mendapatkan nilai tertinggi dalam ulangan matematika di kelasnya. Celakanya teman ini telah menjanjikan anaknya ini, “ jangan lupa ma, yang pakai kamera ya.., seperti punya temen-temen lain di sekolah” itu kata-kata tambahan yang katanya muncul dari bibir si anak. Gambaran ini mungkin menunjukkan bagaimana orang tua memberikan perhatian dan penghargaan terhadap keberhasilan anaknya, akan tetapi kalau direnungkan secara seksama hal ini justru menimbulkan kecemasan. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah pemberian HP kepada anak-anak kita yang usianya tergolong belum memahami sesuatu dengan benar akankah mendidik? Apakah hal ini akan merangsang pembentukan karakter mereka menjadi lebih baik? Atau hal ini justru menjerumuskan anak-anak kita dalam ketergantungan teknologi?

Realitas menunjukkan bahwa di Indonesia penggunaan teknologi seluler dalam kehiduan sehari-hari menunjukkan peningkatan yang pesat (O’Brien, 2006). Hampir sebagian masyarakat telah menggunakan telepon seluler (HP) ini dalam proses interaksi sosialnya. Penggunaan teknologi telah melintasi ruang kelas sosial masyarakat (kaya, menengah dan miskin), ruang pekerjaan (dari tukang sapu sampai eksekutif) dan juga menjembatani antar generasi (tua, muda dan anak-anak). Di Indonesia anak-anak umur kelas 1 SD saat ini banyak dijumpai telah memiliki HP. Bandingkan dengan keadaan di Jepang yang penggunaanya baru ditemukan pada kelas 6 SD-SMP (30% untuk anak SD dan 6-60% untuk SMP) dan negara-negara maju lainnya di atas usia SMP (Kompas, 28/05/08).
Inovasi Teknologi
Di antara kita “teknologi” bukanlah suatu hal yang baru, teknologi merupakan salah satu bagian yang mendukung peradaban kebudayaan manusia. Revolusi industri telah menjembatani teknologi modern bisa berkembang seperti sekarang ini. Inovasi teknologi yang digulirkan oleh pihak-pihak kapitalis dengan proyek modernisasinya ikut mempercepat teknologi ini meluas sampai ke penjuru dunia. Perkembangan teknologi di sisi lain ternyata memberikan dampak yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan manusia. Sebenarnya, futurolog Alvin Toffler (1971) telah jauh hari meramalkan kejadian ini yang dilihatnya mendatangkan stres, kecemasan dan disorientasi individu dalam masyarakatnya. Perkembangan teknologi kenyataannya sekarang ini telah menimbulkan masalah-masalah sosial baru dalam masyarakat.
Handphone bukan merupakan hal baru saat ini, awal perkembangannya teknologi ini didesain untuk kemudahan, kecepatan dan ketepatan dalam berkomunikasi (menghapuskan biaya dari sudut waktu dan ruang), ditemukannya teknologi telepon telah merangsang daya pikir manusia untuk menciptakan suatu realitas dalam “genggaman” manusia. Dengan kata lain dengan bantuan teknologi manusia berusaha untuk mengontrol kehidupannya semakin mudah. Akan tetapi seiring perkembangan masyarakat HP ini pun mengalami perkembangan yang mencengangkan. Fungsi yang awalnya hanya untuk berkomunikasi (berbicara) kemudian bertambah dengan SMS (pengiriman pesan pendek), MMS (multimedia), game, radio, televisi, penyetel musik, kamera dan perekam sampai internet. Penambahan fitur-fitur ini memanjakan manusia untuk “bermain-main” dengannya.
Beberapa media televisi memperlihatkan bagaimana pengeledahan-pengeledahan yang dilakukan pada siswa sekolah ternyata beberapa siswa terdapat menyimpan gambar dan video porno di dalamnya. Celakanya lagi, gambar atau video ini adalah adegan dari teman-teman mereka sendiri. Sebutlah kasus di Lamongan, Banyuwangi, Mojekerto, Madiun (jawa Timur), Tegal (Jawa Tengah) dan Bali memperlihatkan bagaimana penggunaan teknologi telah disalahgunakan. Pada usia yang masih anak-anak dan remaja resiko seperti sangat serius dampaknya secara psikologis. Belum lagi kejahatan internet yang marak terjadi kita kuatirkan akan berdampak pada masa depan mereka. Habermas (1990) hubungan manusia dan teknologi berada dalam wacana yang diskurus, pemciptaan dan perkembangan teknologi telah menjadi ‘tujuan’ tindakan manusia, teknologi bukan lagi dimaknai sebagai ‘sarana’ untuk mencapai tujuan hidup. Kita seakan-akan asyik dengan teknologi itu dan mulai meningglkan identitas kita sebagai manusia secara sosial.
Technological Somnambulism
Pertanyaannya dapatkah penggunaan HP bagi anak-anak ini akan memberikan arah yang positif bagi pertumbuhan karakter anak-anak kita? Pertanyaan moral ini tidak akan mungkin dijawab jika kita semata-mata mengukur hal ini dari hitungan ekonomis, yaitu memusatkan perhatian pada keuntungan teknologi dalam berkomunikasi, tetapi juga penting diperhatikan bahaya dan degradasi sosial kultural yang menyertai teknologi itu sendiri. Seharusnya penggunaan teknologi di tingkatan anak-anak harus ditinjau ulang, mulai dari sistem nilai dalam masyarakat sampai pada aspek regulasi yang ketat. Jepang sebagai negara teknologi telah memberikan sinyal positif bagaimana teknologi telah mengakibatkan munculnya masalah-masalah psikologis pada anak-anak dan remaja mereka. Mereka kemudian berupaya untuk merancang alat komunikasi (HP) yang fungsinya terbatas yaitu untuk berbicara dan penunjuk arah saja (global positioning system/GPS) dan ini kemudian diatur oleh Kementerian Telekomunikasi Jepang. Lagi-lagi kita telat, kita selalu terbuai dengan teknologi dan bingung bagaimana harus memanajemennya.
Kebutuhan teknologi yang bertanggungjawab mutlak diperlukan untuk mengimbangi melemahnya kontrol sosial dalam masyarakat. Masyarakat di zaman virtual yang penuh dengan turbulensi, kekacauan dan serbuan teknologi yang sulit dibendung sebagai dampak globalisasi, harus cerdas untuk memilih penggunaan teknologi buat mereka sendiri begitu juga buat anak-anak dan remaja kita (generasi penerus). Teknologi yang layak dipilih adalah teknologi yang tidak merugikan, membahayakan dan menyesatkan dalam praktis sosialnya. Manusia sepenuhnya tidak sadar bahwa era perbudakan teknologi sebenarnya telah muncul ketika pertama kali teknologi itu ditemukan, manusia menjadi malas kalau tidak ada alat bantu, manusia menjadi kurang kreatif karena terbiasa dengan alat bantu dan manusia mulai kehilangan instingnya sebagai makhluk sosial yang memerlukan interaksi face to face.
Teknologi telah meminggirkan peran-peran interaksi semacam ini. Penggunaan teknologi dalam konteksnya telah menebas konsep ruang dan waktu. Ruang dan waktu dalam teknologi bukan lagi mejadi permasalahan. Interaksi sosial yang terjadi lewat media membuat ikatan solidaritas sosial masyarakat menjadi melemah. Akibatnya rasa memiliki dan tanggungjawab menjadi tidak ada. Hannah Arendt mengatakan rasa tanggung jawab itu menjadi tumpul karena kegagalan manusia dalam pencapaian kedewasaan berpikir. Penggunaan teknologi pada anak-anak yang tidak diimbangi dengan kedewasaan berpikir menggiring anak-anak kita menjadi generasi yang konsumtif dan miskin pengalaman sosial. Dalam peradaban teknologi seperti inilah justru bermunculan skandal dalam pemikiran manusia.
Penyelesaian masalah teknologi dan anak-anak tidak dapat diselesaikan dengan hanya mengandalkan daya rasional saja. Rasionalitas teknologi sangat terbatas, keengganan memahami teknologi lebih dari sekedar alat/piranti yang memberikan kemudahan dan kenyamanan membuat manusia semakin hari bersikap tidak masuk akal (Winner, 2004). Virus tekonologi telah mengakibatkan manusia dewasa mengalami techological somnambulism. Kita merasa sudah mampu untuk menguasai teknologi untuk kehidupan yang nyaman dan memanusiakan manusia, akan tetapi kita sebenarnya telah nglindur dalam menerjemahkan teknologi ini. Dan kesalahan menerjemahkan teknolog itu kini telah kita wariskan pada anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) yang masih belum sadar akan bagaimana teknologi itu akan menggiring mereka antara jurang kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar